Dunia pendidikan, tempat yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual, kembali ternoda. Seorang profesor berinisial S, yang semestinya menjadi panutan, justru diduga melakukan tindakan yang paling memalukan bagi seorang akademisi — pelecehan seksual terhadap mahasiswanya sendiri.
Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran hukum atau etika profesi. Ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar dari setiap lembaga pendidikan. Seorang profesor, yang dipercaya untuk membimbing dan melindungi mahasiswa, justru memanfaatkan posisinya untuk menindas mereka yang seharusnya ia lindungi.
Lebih menyakitkan lagi, kasus seperti ini bukanlah yang pertama. Sudah terlalu sering kita mendengar kisah mahasiswa yang terpaksa bungkam karena takut terhadap kekuasaan dan reputasi pelaku. Sistem akademik yang hierarkis sering kali memberi ruang bagi predator seperti S untuk bertindak tanpa rasa takut. Mereka berlindung di balik gelar, jabatan, dan nama besar institusi.
Ketika intelektualitas tidak disertai moralitas, maka gelar akademik hanyalah topeng busuk yang menutupi kebobrokan hati. Tidak ada kebanggaan dalam gelar profesor jika di baliknya tersembunyi perilaku bejat terhadap mahasiswa sendiri.
Kampus seharusnya menjadi ruang aman — bukan arena kekuasaan yang menindas, bukan tempat di mana mahasiswa harus berjalan dengan waswas karena takut menjadi korban. Jika benar dugaan ini terbukti, maka profesor S bukan hanya telah mencoreng nama universitasnya, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap dunia akademik secara keseluruhan.
Sudah saatnya lembaga pendidikan berhenti menutup-nutupi aib dengan alasan menjaga nama baik. Nama baik sejati hanya akan terjaga bila kampus berani berpihak pada kebenaran dan korban, bukan pada pelaku yang memiliki jabatan tinggi.
Profesor S mungkin hanya satu orang, tetapi simbol dari masalah yang jauh lebih besar: budaya diam dan ketimpangan kuasa dalam dunia akademik. Dan selama kita membiarkan predator berseragam intelektual ini bersembunyi di balik gelar dan status, dunia pendidikan akan terus tercemar oleh mereka yang kehilangan hati nurani. (JM)
Ada 0 komentar untuk artikel ini