Intuisi Seniman Tradisional Kian Langka: Musik Pop, Keroncong, dan Musik Tradisional Lainnya di Ambang Krisis Identitas dan Ketokohan??
Jakarta, [28/12/25] — Intuisi seniman tradisional yang menjadi ruh penciptaan musik Nusantara semakin memudar di era digital ini. Tak hanya musik tradisional daerah, hambatan serupa kini memengaruhi musik keroncong dan bahkan musik pop Indonesia—menimbulkan kekhawatiran serius atas hilangnya ketokohan dan maestro-maestro bernilai sejarah artistik.

Fenomena ini terungkap melalui beberapa data, praktik, dan pernyataan pejabat budaya terkini. Dari ketersediaan seniman hingga relevansi karya, perubahan cepat selera publik yang digeerakkan oleh algoritma digital dan industri musik komersial telah menggeser proses kreatif artistik menjadi produksi cepat tanpa kedalaman estetika dan konteks budaya.
Kroncong: Di Panggung Budaya tapi Sepi Regenerasi
Musik keroncong, warisan berabad-abad yang lahir dari akulturasi budaya di Nusantara sejak abad ke-16, tetap diperingati sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Indonesia. Namun, popularitasnya secara komersial telah merosot signifikan—jarang terdengar di media mainstream dan pertunjukan langsung makin langka. Jakarta Globe
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan komitmen pemerintah melalui festival seperti Keroncong Svarnanusa 2025 yang digelar di Blitar, sekaligus menyerukan pentingnya pelestarian genre tersebut sebagai “warisan budaya yang sangat penting” dan bagian dari semangat perjuangan bangsa. Antara News+1
Namun di luar upaya seremonial, regenerasi keroncong menghadapi tantangan besar: genre ini sering dianggap konvensional dan kurang relevan bagi generasi muda, dengan kompleksitas musikal yang dipandang sulit untuk diterima tanpa pelatihan panjang. SCAD Independent Journal
==> Pop Indonesia: Kejayaan Komersial, Krisis Artistik
Sementara itu, musik pop Indonesia terus mendominasi pasar mainstream dengan jumlah artis baru yang tumbuh setiap tahun. Namun, dominasi pasar ini jarang diiringi kedalaman estetika atau inovasi artistik yang berbasis intuisi penciptaan musik yang kuat. Sebagian besar produksi modern lebih terikat pada algoritma streaming dan formula viral ketimbang eksplorasi artistik yang mendalam.
Kondisi ini memunculkan risiko homogenisasi selera dan hilangnya karakter ikonik musisi yang mampu menjadi legenda artistik — ketokohan yang tumbuh dari kreativitas, refleksi budaya, dan intuisi artistik.
Musik Tradisional Nusantara: Dari Gamelan hingga Alat Musik Daerah, di Bawah Tekanan Global
Genre musik tradisional lain seperti gamelan, angklung, suling, hingga kolintang mengalami tekanan berkelanjutan akibat kendala ekonomi, urbanisasi, serta kurangnya regenerasi dalam komunitas lokal. Dalam beberapa komunitas, kelangkaan seniman ahli dan hilangnya akses terhadap instrumen tradisional mengancam keberlangsungan praktiknya. Freer and Sackler Galleries
Beberapa tokoh penting telah berpulang tanpa banyak penerus langsung yang memadai. Misalnya, Petrus Kaseke, pembuat dan pengajar kolintang terkenal, telah wafat pada 2022 setelah lebih dari setengah abad mendidik generasi baru; keahlian pembuatan instrumen tradisional yang ia wariskan kini sangat berharga dan sulit digantikan. Wikipedia
Ancaman Sistemik terhadap Intuisi Seniman
Di balik semua itu, ada faktor struktural yang menggerus keberlangsungan musik tradisional dan keroncong. Dalam ekosistem digital global, model pendapatan dari streaming jauh dari cukup untuk mendukung kehidupan seniman tradisional, sehingga banyak yang terpaksa meninggalkan praktik mereka demi pekerjaan yang lebih stabil. Algoritma platform sering kali mengarahkan audiens ke genre populer dan berenergi tinggi, sementara karya yang bernuansa tradisional tersingkir dari rekomendasi utama. Aris Setyawan
Seruan Kebijakan: Restorasi, Regenerasi, dan Profesi Artistik
Fenomena ini menuntut perhatian dari seluruh pemangku kepentingan: pemerintah, industri musik, institusi pendidikan seni, serta komunitas budaya. Pelestarian musik tradisional harus diperluas dari sekadar festival menjadi pendidikan formal dan informal yang mendalam, dukungan materiil bagi seniman, serta subsidi untuk ruang eksperimen kreatif.
Tanpa langkah terstruktur dan berkelanjutan, Indonesia berisiko kehilangan tidak hanya ragam musiknya, tetapi juga ketokohan dan maestro yang menjadi simbol maupun sumber inspirasi artistik bangsa. Identitas budaya yang melekat pada setiap genre musik akan semakin pudar, jika intuisi artistik digantikan oleh perhitungan pasar semata.
— Lanjut —
1. Musik Tradisional Nusantara
Musik tradisional tidak lahir dari notasi semata, tetapi dari intuisi kolektif, laku hidup, dan pengetahuan turun-temurun. Ketokohan seniman menjadi pusat transmisi nilai.
Contoh Tokoh & Karya:
-
Ki Nartosabdo (Gamelan Jawa)
Karya: Gambang Suling, Lancaran Manyar Sewu
? Maestro komposer karawitan yang membentuk standar estetika gamelan modern. Wafat, tanpa figur sepadan dalam skala nasional. -
I Wayan Lotring (Gamelan Bali)
Karya: Gending Kebyar, Tabuh Pisan
? Fondasi musik Bali kontemporer. Kini lebih banyak direproduksi daripada diciptakan ulang secara intuitif. -
Daeng Soetigna (Angklung)
Karya: Reformasi angklung diatonis
? Membawa angklung ke panggung dunia. Regenerasi pembaharu hampir tidak muncul.
Fakta Kritis:
Hari ini, banyak musik tradisional bertahan sebagai repertoar museum dan festival, bukan sebagai praktik kreatif hidup. Ketokohan bergeser menjadi dokumentasi, bukan otoritas artistik aktif.
2. Keroncong
Keroncong adalah musik lintas zaman dan kelas sosial—namun kini kehilangan figur pemersatu generasi.
Contoh Tokoh & Karya:
-
Gesang Martohartono
Karya: Bengawan Solo
? Ikon global keroncong Indonesia. Hingga kini, belum ada komposer keroncong dengan pengaruh lintas negara setara. -
Waldjinah
Karya: Walang Kekek, Yen Ing Tawang Ana Lintang
? Penyanyi keroncong legendaris dengan intuisi vokal khas. Regenerasi vokalis keroncong cenderung imitasi, bukan interpretasi baru. -
Mus Mulyadi
Karya: Di Bawah Sinar Bulan Purnama
? Membawa keroncong ke era rekaman modern. Setelahnya, keroncong stagnan secara estetika.
Fakta Kritis:
Dalam 5–10 tahun ke depan, keroncong berisiko kehilangan figur panutan hidup, tersisa komunitas nostalgia tanpa tokoh kreator utama.
3. Musik Pop Indonesia
Pop Indonesia berkembang pesat secara industri, namun minim ketokohan jangka panjang.
Contoh Tokoh & Karya (Lintas Generasi):
-
Chrisye
Karya: Badai Pasti Berlalu, Lilin-Lilin Kecil
? Pop dengan kedalaman spiritual dan artistik. Ketokohan lahir dari konsistensi intuisi, bukan tren. -
Iwan Fals
Karya: Bento, Umar Bakri
? Pop-folk dengan keberanian sosial. Kini sulit menemukan figur pop dengan daya kritis sekuat ini. -
Dewa 19 (Ahmad Dhani)
Karya: Kangen, Separuh Nafas
? Pop-rock dengan komposisi kompleks dan identitas kuat.
Kondisi Hari Ini:
Banyak artis pop baru lahir dari viralitas singkat. Lagu cepat populer, tetapi tidak membangun kanon karya. Ketokohan digantikan statistik streaming.
4. Musik Tradisi Kontemporer / Eksperimental
Wilayah pertemuan intuisi tradisi dan modernitas—namun sangat bergantung pada figur individual.
Contoh Tokoh & Karya:
-
Rahayu Supanggah
Karya: Musik film Opera Jawa, komposisi lintas gamelan
? Menghubungkan tradisi, filsafat, dan kontemporer. Wafat, meninggalkan kekosongan intelektual besar. -
Sardono W. Kusumo (lintas musik-tari)
Karya: Samgita Pancasona
? Seni berbasis riset budaya. Sangat minim penerus dengan pendekatan serupa.
Fakta Kritis:
Seni eksperimental tradisi tidak dapat hidup tanpa ekosistem riset dan dukungan negara. Tanpa itu, tokoh-tokoh terakhir akan menjadi “penutup generasi”.
Pertanyaan ini seharusnya memalukan: mengapa bangsa yang begitu kaya budaya justru semakin miskin tokoh seni? Bukan karena Indonesia kehabisan orang berbakat, melainkan karena kita berhasil membunuh proses kelahiran ketokohan itu sendiri—secara sistemik, kolektif, dan disadari.
Hari ini, seni tidak lagi diperlakukan sebagai jalan hidup, melainkan sebagai alat cepat untuk eksistensi. Kita memproduksi penyanyi, aktor, seniman visual, dan kreator dalam jumlah besar, tetapi gagal melahirkan tokoh. Yang ada hanyalah figur populer—datang cepat, pergi tanpa jejak.
Budaya Instan: Kuburan Ketokohan
Ketokohan membutuhkan waktu, disiplin, dan laku. Tetapi bangsa ini telah memutus ketiganya. Generasi muda didorong untuk segera tampil, bukan untuk lama belajar. Mereka dipuji karena berani berekspresi, bukan karena mampu bertanggung jawab atas ekspresinya.
Dalam ekosistem ini, seni dinilai dari engagement, bukan dari kedalaman. Dari reach, bukan dari resonansi. Akibatnya, seniman tidak pernah dipaksa bertanya: apa makna karyaku bagi bangsa ini?
Kita menciptakan generasi yang terkenal tanpa diuji, dipuja tanpa ditempa, dan dilupakan tanpa disesali.
Generasi yang Menolak Menjadi Murid
Salah satu sebab paling serius dari krisis ketokohan adalah hilangnya etika berguru. Menjadi murid dianggap hina. Mengakui ketidaktahuan dianggap kelemahan. Padahal, semua tokoh besar lahir dari kerendahan hati untuk belajar lama dan dalam.
Hari ini, generasi muda ingin melompati proses. Tradisi tidak dipelajari, tetapi “dikemas ulang”. Maestro tidak dirujuk, tetapi “diklaim usang”. Seni lama dijadikan properti estetika, tanpa memahami nilai dan tanggung jawab di baliknya.
Hasilnya bukan pembaruan, melainkan pemiskinan makna.
Negara yang Salah Memahami Kebudayaan
Negara juga tidak sepenuhnya tak bersalah. Kebudayaan direduksi menjadi agenda, festival, dan angka serapan anggaran. Negara sibuk merayakan keramaian, tetapi abai membangun ekosistem ketokohan.
Tidak ada sistem perlindungan jangka panjang bagi seniman yang memilih jalan sunyi. Tidak ada kebijakan serius untuk memastikan regenerasi maestro. Tidak ada keberanian membiayai proses yang hasilnya tidak instan.
Negara ingin hasil cepat: pertunjukan, peringatan, pencitraan. Padahal, tokoh seni lahir dari ketekunan yang sering kali tidak fotogenik.
Industri: Mesin Penggiling Ingatan
Industri kreatif mempercepat kehancuran ini. Ia tidak membutuhkan tokoh, hanya membutuhkan wajah baru. Tidak butuh karya abadi, cukup produk laku. Ketika seorang figur mulai matang dan kritis, ia diganti dengan yang lebih muda dan lebih patuh pada tren.
Industri tidak menciptakan legenda. Ia menciptakan siklus lupa.
Kita Semua Bersalah
Publik ikut berperan. Kita lebih suka sensasi ketimbang kualitas. Lebih suka drama ketimbang pemikiran. Kita ingin seniman menghibur, tetapi menolak ketika mereka mengganggu kenyamanan.
Bangsa ini ingin seni, tetapi takut pada kedalaman. Ingin hiburan, tetapi alergi pada makna.
Tutupe: Bangsa Tanpa Tokoh adalah Bangsa Tanpa Cermin
Tokoh seni adalah cermin bangsa. Tanpa mereka, kita kehilangan penanda ingatan kolektif—tidak tahu siapa kita, apa yang pernah kita perjuangkan, dan nilai apa yang seharusnya diwariskan.
Jika kita terus memelihara budaya instan, memusuhi proses, dan meremehkan laku, maka pertanyaan ini akan menjadi kenyataan pahit:
Bukan mengapa bangsa ini tidak lagi punya tokoh seni yang layak dikenang—
tetapi apakah bangsa ini masih pantas memiliki tokoh seni?
#Jhon Kameru

Ada 0 komentar untuk artikel ini