“Akad Sumpah Jabatan Fungsional di Lembaga DPR / Kementrian / dan atau Jabatan Fungsional tingkat Gubernur sampai tingkat Daerah di Republin Indonesia : Dokumen Sakral atau Sekadar Formalitas yang Kehilangan Makna?"
Jakarta — 07/11/2025. Di setiap pelantikan pejabat fungsional di lingkungan lembaga pemerintahan khususnya di DPR, Kementrian / dan atau Jabatan Fungsional tingkat Gubernur sampai tingkat Daerah di Republin Indonesia, sumpah/janji jabatan dibacakan dengan khidmat. Tangan kanan diangkat, naskah sumpah dibacakan, lalu ditutup dengan penandatanganan berita acara. Secara hukum, inilah momen paling sakral bagi setiap Aparatur Sipil Negara (ASN)—sebuah akad yang mengikat pejabat untuk bekerja dengan integritas, objektivitas, dan loyalitas kepada negara.

Namun, hasil penelusuran dan rangkaian wawancara yang dihimpun dari beberapa sumber internal mengungkapkan pertanyaan kritis yang sulit diabaikan:
Apakah sumpah itu benar-benar menjadi pedoman kerja, atau hanya menjadi lembaran formalitas yang kehilangan daya paksa begitu acara pelantikan usai?
1. Sumpah Jabatan: Instrumen Hukum yang Direduksi Menjadi Ritual Administratif
Regulasi ASN menegaskan bahwa sumpah jabatan memiliki konsekuensi hukum dan etis. Tetapi di lingkungan birokrasi DPR RI, sejumlah pejabat mengakui bahwa implementasi sumpah di tingkat operasional tidak selalu berjalan paralel dengan bunyi teks sumpah itu sendiri.
Beberapa temuan investigasi menunjukkan:
-
Dokumen sumpah tidak pernah dijadikan referensi dalam evaluasi kinerja
-
Pelanggaran terhadap standar profesional fungsional tidak otomatis dikaitkan dengan pelanggaran sumpah
-
Penegakan disiplin sering kali tidak mencerminkan bobot moral dari akad sumpah
-
Pengawasan internal terhadap kepatuhan butir kegiatan masih longgar dan tidak konsisten
Temuan ini memunculkan ironi: sumpah yang secara hukum bersifat mengikat, di lapangan justru terlihat seperti ritual simbolik yang berhenti di meja pelantikan.
2. Ketika Akad Sumpah Tidak Terinternalisasi: Dampak Langsung pada Kualitas Kinerja
Dalam penelusuran terhadap produk kerja beberapa unit fungsional, ditemukan pola yang mengindikasikan lemahnya internalisasi sumpah jabatan:
-
Analisis teknis yang tidak sepenuhnya berbasis data
-
Rekomendasi yang kurang independen
-
Beban butir kegiatan yang diselesaikan secara administratif, bukan berbasis kualitas
-
Penilaian kinerja yang tidak mencerminkan integritas kerja sebenarnya

Padahal, sumpah jabatan mewajibkan pejabat fungsional untuk:
-
bekerja jujur, objektif, dan bertanggung jawab
-
menghindari konflik kepentingan
-
menjaga kredibilitas lembaga
-
menjunjung kepentingan negara di atas kepentingan pribadi
Ketika sumpah tidak diimplementasikan, efeknya bukan hanya pada individu—tetapi menyentuh langsung kualitas output lembaga.
3. Minimnya Pengawasan: Celah yang Membuat Sumpah Kehilangan Makna Praktis
Investigasi menemukan kesenjangan mencolok antara kerasnya teks sumpah dan lemahnya mekanisme penegakannya.
Sumber internal yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan:
“Selama tidak ada laporan resmi atau masalah besar, sumpah itu jarang dijadikan dasar untuk menilai integritas atau kinerja seseorang. Yang penting administrasinya beres.”
Pernyataan tersebut mencerminkan persoalan struktural:
-
Sumpah tidak terintegrasi dalam instrumen pengawasan formal
-
Pengukuran kinerja masih dominan administratif
-
Pelanggaran etis jarang dikategorikan sebagai pelanggaran sumpah
-
Supervisi jabatan fungsional tidak merujuk sumpah sebagai standar dasar
Jika kondisi ini terus dibiarkan, sumpah jabatan terancam menjadi dokumen simbolik tanpa daya paksa, bertentangan dengan tujuan hukum yang sebenarnya.
4. Mengapa Ini Berbahaya?
Ketika pejabat fungsional bekerja tanpa menjadikan sumpah sebagai kompas moral, maka risiko yang muncul meliputi:
-
Penurunan kualitas analisis dan rekomendasi kebijakan
-
Peluang penyimpangan kewenangan
-
Standar profesional yang tidak konsisten
-
Rendahnya akuntabilitas di unit fungsional
-
Reputasi lembaga DPR RI yang terganggu akibat rendahnya disiplin etik internal
Dalam konteks lembaga strategis seperti DPR RI, setiap celah integritas memiliki implikasi serius bagi legitimasi kelembagaan.
**5. Pertanyaan Kunci yang Menggantung:
Jika Sumpah Tidak Diperlakukan Serius, Lalu Apa Nilainya?**
Sumpah seharusnya menjadi pagar moral. Tetapi realitanya, pagar itu tampak:
-
tidak ditegakkan,
-
tidak dijadikan referensi,
-
dan tidak digunakan sebagai indikator utama integritas.
Muncul pertanyaan besar yang kini menjadi sorotan:
“Apa arti sumpah jabatan jika tidak dijadikan landasan kerja dan tidak dihubungkan dengan sanksi ketika dilanggar?”
Dalam dunia profesional, sumpah bukan hanya deklarasi moral—melainkan kontrak yang mengikat perilaku dan kinerja.
Kesimpulan Investigatif
Penelusuran ini mengungkap adanya kesenjangan serius antara regulasi, sumpah jabatan, dan implementasinya di beberapa unit fungsional DPR RI.
Sumpah yang seharusnya menjadi pedoman etis dan hukum, dalam praktik sering terdegradasi menjadi:
- seremonial administratif, bukan kompas integritas
- dokumen arsip, bukan instrumen pengawasan
- ritual rutin, bukan kontrak profesional yang ditegakkan
Ketika akad sumpah kehilangan bobotnya, risiko terhadap kualitas tata kelola ASN di lembaga negara pun semakin besar. #kameru
Ada 0 komentar untuk artikel ini